Sabtu, 04 Agustus 2012

Hadits Shalat Sunnah

Shalat sunnah ( shalat nafilah ) adalah shalat tambahan diluar shalat fardhu, bila dikerjakan akan mendapat pahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.

Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah

1.      Shalat Idul Fitri
Diriwayatkan dari Abu Said, ia berkata : “Adalah Nabi SAW. pada hari raya idul fitri dan idul adha keluar ke mushalla (padang untuk salat), maka pertama yang beliau kerjakan adalah salat, kemudian setelah selesai beliau berdiri menghadap kepada manusia sedang manusia masih duduk tertib pada shaf mereka, lalu beliau memberi nasihat dan wasiat (khutbah) apabila beliau hendak mengutus tentara atau ingin memerintahkan sesuatu yang telah beliau putuskan,beliau perintahkan setelah selesai beliau pergi. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
Telah berkata Jaabir ra: “Saya menyaksikan salat Id bersama Nabi saw. beliau memulai salat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah, setelah selesai beliau berdiri bertekan atas Bilal, lalu memerintahkan manusia supaya bertaqwa kepada Allah, mendorong mereka untuk taat, menasihati manusia dan memperingatkan mereka, setelah selesai beliau turun mendatangai shaf wanita dan selanjutnya beliau memperingatkan mereka.” (H.R : Muslim)

2.      Shalat Idul Adha
Ibnu Abbas Ra. berkata: “Aku shalat Idul Fithri bersama Rasulullah SAW dan Abu bakar dan Umar, beliau semua melakukan shalat tersebut sebelum khutbah.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dilakukan 2 raka’at. Pada rakaat pertama melakukan tujuh kali takbir (di luar Takbiratul Ihram) sebelum membaca Al-Fatihah, dan pada raka’at kedua melakukan lima kali takbir sebelum membaca Al-Fatihah.

3.      Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)
Ibrahim (putra Nabi SAW) meninggal dunia bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari. Beliau SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah SWT. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak juga karena kehidupan (kelahiran) seseorang. Apabila kalian mengalaminya (gerhana), maka shalatlah dan berdoalah, sehingga (gerhana itu) berakhir.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah ibnu Amr, bahwasannya Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk memanggil dengan panggilan “ashsholaatu jaami’ah” (shalat didirikan dengan berjamaah). (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dilakukan dua rakaat, membaca Al-Fatihah dan surah dua kali setiap raka’at, dan melakukan ruku’ dua kali setiap raka’at.

4.      Shalat Istisqo’
Dari Ibnu Abbas Ra., bahwasannya Nabi SAW shalat istisqo’ dua raka’at, seperti shalat ‘Id. (HR Imam Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi). Tata caranya seperti shalat ‘Id.

5.      Shalat Tarawih (sudah dibahas)
Dari ‘Aisyah Rda., bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat di masjid pada suatu malam. Maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau. Nabi shalat (lagi di masjid) pada hari berikutnya, jamaah yang mengikuti beliau bertambah banyak. Pada malam ketiga dan keempat, mereka berkumpul (menunggu Rasulullah), namun Rasulullah SAW tidak keluar ke masjid. Pada paginya Nabi SAW bersabda: “Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan tadi malam, namun aku tidak keluar karena sesungguhnya aku khawatir bahwa hal (shalat) itu akan difardlukan kepada kalian.” ‘Aisyah Rda. berkata: “Semua itu terjadi dalam bulan Ramadhan.” (HR Imam Muslim)
Jumlah raka’atnya adalah 20 dengan 10 kali salam, sesuai dengan kesepakatan shahabat mengenai jumlah raka’at dan tata cara shalatnya.
Shalat Witir yang mengiringi Shalat Tarawih
Adapun shalat witir di luar Ramadhan, maka tidak disunnahkan berjamaah, karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya.

Hadits Shalat Fardhu



1.      Waktu Shalat
َعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( وَقْتُ اَلظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ اَلشَّمْسُ  وَكَانَ ظِلُّ اَلرَّجُلِ كَطُولِهِ  مَا لَمْ يَحْضُرْ اَلْعَصْرُ  وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اَللَّيْلِ اَلْأَوْسَطِ  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abdullah Ibnu Amr Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Waktu Dhuhur ialah jika matahari telah condong (ke barat) dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama waktu Ashar belum tiba waktu Ashar masuk selama matahari belum menguning waktu shalat Maghrib selama awan merah belum menghilang waktu shalat Isya hingga tengah malam dan waktu shalat Shubuh semenjak terbitnya fajar hingga matahari belum terbit." Riwayat Muslim.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلِ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang telah mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh dan barangsiapa yang telah mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam maka ia telah mendapatkan shalat Ashar." Muttafaq Alaihi.

2.      Shalat tepat pada waktunya
َوَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَفْضَلُ اَلْأَعْمَالِ اَلصَّلَاةُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا   رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ. وَصَحَّحَاهُ. وَأَصْلُهُ فِي "اَلصَّحِيحَيْنِ

Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan yang paling mulia ialah shalat pada awal waktunya." Hadits riwayat dan shahih menurut Tirmidzi dan Hakim. Asalnya Bukhari-Muslim.
َوَعَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( أَوَّلُ اَلْوَقْتِ رِضْوَانُ اَللَّهُ وَأَوْسَطُهُ رَحْمَةُ اَللَّهِ; وَآخِرُهُ عَفْوُ اَللَّهِ )  أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ جِدًّا 
Dari Abu Mahdzurah bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Permulaan waktu adalah ridlo Allah pertengahannya adalah rahmat Allah dan akhir waktunya ampunan Allah." Dikeluarkan oleh Daruquthni dengan sanad yang lemah.

Macam - Macam Mushaf

1.      Mushaf Istiqlal
Mushaf ini merupakan tulisan tangan putra – putra terbaik bangsa Indonesia. Mulai ditulis pada tanggal 15 Oktober 1991. Penulisan huruf Ba pada Basmalah pada surah Al-FatihahI adalah Presiden H. M. Soeharto(Presiden RI pada saat itu) sebagai tanda dimulainya penulisan mushafIstiqlal dan sekaligus membuka pamerann kebudayaan Islam tingkat Nasional yang lebih dikenal dengan Festival Istiqlal I.
Pada tanggal 23 September 1995 bertepatan dengan pembukaan Festival Istiqlal II, Bapak Presiden Soeharto mendatangi prasasti tanda selesainya penulisan mushafIstiqlal. Mushaf ini merupakan seni asasi yang suci dan agung karena merupakan bentuk ekspresi estetik seni Islam yang paling otentik dan original, sebagai salah satu manifestasi sufistik atas pengejawantahan hokum Allah (al-syari’ah) melalui jalan spiritual (al-thariqoh) untuk mencapai hakikat (al-haqiqoh).
Pembuatan mushaf ini melibatkan tim khusus yang keanggotaannya terdiri dari para ahli kaligrafi, ahli seni rupa, ulama ahli Al-Qur’an, serta budayawan. Mushaf ini juga ditashih oleh lajnahpentashihanmushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI.
Sumber inspirasi desain pada iluminasimushafistiqlal berasal dari 2 jenis: Pertama, Bentuk Floramorfis (artinya tumbuh-tumbuhan dan bunga) yang diabstraksi sebagai visualisasi simbolis atas makna ayat Al-Qur’an sebagaimana tertulis dalam surah Ibrahim ayat 24-25 yang artinya:
“Tidakkan kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, akarnya kuat dan cabanganya(menjulang) ke langit, (pohon itu menghasilkan buahnya setiap waktu dengan seizing Tuhanya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.”
Ayat ini bermakna simbolis agar manusia selalu mengingat (dzikir) dan tunduk (taqwa) kepada Allah s.w.t.
Kedua,iluminasinya dari khazanah ragam hias nusantara dari sabang sampai merauke yang terdapat pada arsiteltur rumah adat, tekstil, batik, perabot rumah tangga, perhiasan, tosan aji dan lain-lain. Dengan demikian Mushaf Al-Qur’an Istiqlal dapat menjadi ungkapan berutrsdisi seni suci Islam sakaligus sebagai gambaran umat Islam Indonesia yang menyatu dan damai dalam kemajemukan suku bangsa yang demikian banyak.
Kenapa iluminasinya hanya dalam bentuk flora, bukan fauna? Karena flora menggambarkan bentuk keindahan disbanding fauna. Tujuan dari iluminasi adalah untuk memperindah karena salah satu ajaran Islam adalah keindahan. Dengan dihias, maka orang akan suka membaca Al-Qur’an karena ada daya tariknya.
Gambar cahaya (sinar memancar) yang terdapat pada hamper setiap halaman diangkat sevara simbolis dari Q.S. An Nur: 35 tentang cahaya Allah s.w.t., yang member sinarna (ajaran, petunjuk, dan perintah) kepada manusia sebagai khalifah di bumi.
Begitulah dengan pemakaian warna emas, merupakan symbol transendental (ilahiah) terhadap keagungan Allah s.w.t., karena warna emas adalah satu-satunya warna paling sejati yang tidak dimiliki oleh benda lain kecuali emas itu sendiri
2.      MushafSundawi
Iluminasinya berasal dari ragam hias daerah Jawa Barat yang secara sosio-kultural termasuk dalam lungkup budaya pasundan. Jika iluminasimushafIstiqlal berasal dari khazanah ragam hias yang menggambarkan corak kebudayaan seluruh nusantara, maka iluminasiMushafSundawidiambil dari jenis tanaman hias khas Jawa Barat menjadi bentuk-bentuk ornament yang khas dan berkarakter sundawi.
ISngkatnya, iluminasiMushafSundawi mencerminkan ragam flora dan budaya Jawa Barat (Motif Banten, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Ciamis, dan lain-lain). Jadi pada prinsipnya ada dua jenis sumber inspirasi atau acuan desain pada MushafSundawi, yaitu:
Pertama, yang referensinya berasal dari motif Islami Jawa Barat seperti mamolo masjid, motif batik, ukiran mimbar, mihrab dan peninggalan arkeologislainya. Kedua adalah desain yang bersumber pada sejumlah flora tertentu khas Jawa Barat seperti gandaria dan patarakomala.
Pemrakarsa pembuatan mushaf ini adalah H.R. Nuriana (Gurbernur Jawa Barat saat itu).Dimulai pada tanggal 14 Agustus 1995 bertepatan dengan mauled Nabi Muhammad s.a.w. 17 Rabiulawal 1416 H. H.R. Nuriana membukakan “basmallah” pada lembara awal sebagai symbol dimulainya penulisan mushaf. Penulisan selesai pada Januari 1997(kurang lebih 1tahun 6 bulan) dengan menghabiskan 24.000 ml tinta warna, 5000 ml tinta hitam, 1500 gram prada, 1000 gram emas murni serbuk, 750 batang kuas, 350 pensil dan 25 dus (12,5 Kg) penghapus.
Tim kerja terdiri dari para ulama, ahli kaligrafi, pakar dalam estetika seni rupa Islam, desianer spesialis iluminasi, peneliti, illuminator, ahli computer dan fotografer serta selalu dipantau dan dikoreksi oleh pakar dari Lembaga Tashih Al-Qur’an.
Ditinjau dari sudut pandang sejarah Islam di Jawa Barat, MushafSundawi merupakan karya nyata kepedulian terhadap Al-Qur’an yang telah berakar sejak Islam berpijak di tanah pasundan. Ditinjau dari segi sosio-kultural, MushafSundawi merupakan karya seni Islami yang merupakan paduan antara teks Al-Qur’an dengan kebudayaan yang serasi antara dzikir dah fikir masyaraka Jawa Barat.
3.      MushafWonosobo
MushafWonosobo merupakan salah satu mushaf terbesar dinusantara, ditulis oleh dua orang santri pondok Pesantren Al-Asy’ariyahkalibeber, Wonosobo Jawa Tengah, bernama Abdul malik dan Hayatuddin. Pondok Pesantren tersebut memiliki kekhususan dalam pengajara tahfiz (hafala) Al-Qur’an. Mushaf ini ditulis selama 14 bulan, dari tanggal 16 Oktober 1991 hingga 7 Desember 1992. Ukuran halaman 145x195 cm, dan ukuran teks 80x130 cm,ditulis dengan khas naskhi, disias dengan iluminasi yang sederhana, ditulis diatas kertas karton manila putih, sumbangan Bapak H.Harmoko, mantanMenteri Penerangan RI.
4.      Mushaf Pustaka
MushafPustaka ditulis atas prakarsa presiden RI pertama, Ir. Soekarno, dan merupakan mushaf resmi yang di tulis pertama kali setelah kemerdekaan RI. Mushaf ini dianggap sebagai hadiah dari umat Islam Indonesia atas kemerdekaan RI. Mushaf pustaka ditulis oleh Prof.H. SalimFachry, guru besar IAIN Jakarta, dimulai pada 17 Ramadhan 1367 H (23 Juni 1948), dan selesai pada tenggal 15 Maret 1950. Penulisan hurupBa’sebagai hurup pertama dari kalimat Basmalah oleh Bung Karno, dan diakhiri dengan huruf mim sebagai huruf penghabisan oleh Bung Hatta. Penulisan mushaf ini di bawah kuratorialkhatat (kaligrafer) K.H. AbdurazzaqMuhilli.
Jenis Al-Qur’an ini dalah“Al-Qur’an sudut”, yaitu setiap halaman berakhir dengan ayat penuh, tidak bersambung ke halaman berikutnya. Al-Qur’an ini berukuran halaman 75x100 cm, ukuran teks 50x80 cm, ditulis di atas kertas kartin manila putih, dengan khas naskhi, Mushaf ini merupakan hibah dari Istana Negara pada tahun 1997, saat pembukaan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah.
5.      Mushaf Al-Qur’an Standar Braille
Ditulis dengan huruf arab Braille, yang berbentuk dengan titik yang menonjol, seperti halnya huruf-huruf latin Braille. Dimaksudkan untuk membantu para tunanetra untuk belajar dan membaca Al-Qur’an. Pada mulanya penulisan Al-Qur’an Braille ini dipelopori oleh Yayasan kesejahteraan Tuna netra Islam (Yaketunis) Yogyakarta tahun 1964. Yayasan tersebut dalam membuat huruf arab Braille berdasarkan “system khat imla’I”. Pada tahun 1974, Badan Pembinaan “Wiyata Guna” Bandung menerbitkan pula Al-Qur’an Braille berdasarkan “system khat Usman”, sehingga pada saat itu di Indonesia terdapat dua jenis Al-Qur’an Braille dengan standar yang berbeda.
Kemudian Departemen Agama dalam hal ini PuslitbangLektur Agama Litbang Agama mengadakan musyawarah untuk menyatukan perbedaan ini, sehingga pada tahun 1977 disepakati lahirnya sebuah Mushaf Al-Qur’an Braille untuk seluruh Indonesia, yang kemudian pada tahun 1984 berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 25 tahun 1984 ditetapkan sebagai AL-Qur’an Standar Braille Indonesia.
6.      Manuskrip Al-Qur’an tua
Kelompok koleksi ini terdiri dari manusjrip Al-Qur’an tua dari berbagai provinsi di Indonesia di antaranya: manuskrip Al-Qur’an Aceh, manuskrip Al-Qur’an Banten, manuskrip Al-Qur’an Cirebon, manuskrip Al-Qur’an Semarang, manuskrip Al-Qur’an Surakarta, manuskrip Al-Qur’an Yogyakarta, dan manuskrip Al-Qur’an Nusa Tenggara Barat (NTB).
7.      Mushaf Al-Qur’an dan Terjemahnya (Manca Negara)
Kelompok koleksi ini ada yang berasal dari sumbangan instansimaupun individu. Meliputi Mushaf Al-Qur’an, dan terjemahnya dalam berbagai bahasa dan aksara, di antaranya dari Cina, Korea, Jepang, Myanmar, Srilanka, Urdu, Kenya, Finlandia, Polandia, Italia, Jerman, Belanda.
8.      Mushaf Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bahasa Daerah)
Kelompok koleksi ini di antaranya merupakan sumbangan dari pemerintah daerah yang menerbitkan Al-Qur’an dan terjemahnya dalam bahasa mereka dan ditashihkan kepada LajnahPentashihanMushaf Al-Qur’an, maupun dikelola oleh penerbit  swasta. Di antaranya dari bahasa Aceh, Bahasa Sunda, Bahasa dan aksara Jawa, bahasa Madura, bahasa Gorontalo, bahasa dan aksara mandar, dan lain-lain.

Bercermin Dari Tahajudnya Seorang Bocah

Anda pasti yakin bahwa banyak hal bisa kita ambil pelajaran, sekalipun suatu yang kecil dan remah. Anda pasti ingat bagaimana Allah menceritakan di dalam Al-Qur'an (dalam banyak ayatNya) perumpamaan-perumpamaan (al-amtsal) yang bisa kita ambil pelajaran yang berharga darinya. silahkan Anda pahami ayat-ayat Al-Qur'an yang menyimpan makna begitu dahsyat.
Di bawah ini, akan saya sampaikan sebuah kisah yang barangkali bagi sebagian orang dianggap remeh, namun ternyata mengandung hikmah yang sangat berharga. kisah di bawah ini berkaitan dengan shalat tahajud.
Dikisahkan bahwa Abu Yazid Al-Bustami suatu saat menunaikan shalat tahajud. Anaknya yang masih kecil berdiri shalat di sampingnya. Malam itu udara dingin, berat sekali rasanya jika tidak tidur malam. 
Abu Yazid berkata kepada anaknya, "Tidurlah wahai anakku, malam masih panjang."
Anaknya menjawab, "Lalu mengapa bapak shalat?"
Abu Yazid menjawab, " Anakku, aku memang dituntut untuk qiyamullail (shalat tahajud)."
Anaknya berkata, "Aku telah menghafal sebagian firman Allah: 
'Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.' (al-Muzzammil: 20)
Lalu siapa orang-orang yang berdiri shalat bersama Nabi s.a.w.?
Abu Yazid menjawad, "Para sahabat Rasulullah s.a.w."
Anaknya berkata, "Ayah, jangan menghalangiku untuk meraih kemuliaan menyertaimu dalam ketaatan kepada Allah."
Dengan penuh kekaguman Abu Yazid berkata, "Anakku, kamu masih kecil dan belum cukup usia dewasa."
Anaknya menjawab, "Aku melihat ibukku sewaktu menyalakan api, dia memulai dengan potongan-potongan kayu kecil untuk menyalakan kayu-kayu yang besar. Maka aku takut kalau Allah memulai dengan kami para bocah, sebelum orang dewasa -ketika menyalakan api neraka- pada Hari Kiamat, jika kami lalai dari ketaatan kepadaNya."
Abu Yazid tersentak, mendengar kata-kata anaknya karena ketakutanya kepada Allah s.w.t. Kemudian dia berkata, "Anakku, berdirilah. Kamu lebih berhak bersama Allah daripada bapakmu."
Ini adalah penggalan kisah yang luar biasa. Malu rasanya bila anak sekecil itu telah menemukan hakikat kebenaran, kehidupan, dan kenikmatan, sementara kita yang lebih dewasa darinya masih menerawang di atas awan atau meraba-raba. 

Ada beberapa catatan penting yang dapat kita ambil palajaranya dari kisah di atas:
  • Pentingnya suri tauladan dalam ketaatan.
  • Tahajud adalah kebutuhan utama (nutrisi) jiwa.
  • Tahajud adalah media untuk membangun manusia yang tangguh di masa depan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Referensi: Budiman Mustafa, Lc. Tuntunan Praktis dan Doa-doa khusus Tahajud.

Jumat, 03 Agustus 2012

Bertumpu Pada Kekuasaan Allah

Bertumpu pada kekuasaan Allah s.w.t. berarti menempatkan Allah sebagai ‘sandaran’ kita dalam segala hal. Jadi kita merasa apa yang kita lakukan tidak berarti apa-apa, bila hati kita tidak disertai dengan keyakinan bahwa semua hal yang terjadi itu atas kehendak Allah, semua kesuksesan dan kebahagiaan yang diraih itu atas campur tangan Allah s.w.t. Dial ah Allah tempat kita bergantung (Allahush Shamad).

Ash-Shamad adalah sebagai tumpuan segala kebutuhan hidup. Bahkan sifat shamad Allah menurut Imam Fakhruddin ar-Razi mengandung 18 makna. Di dalam sifat Ash-Shamad  ini terkandung makna; Yang Maha Hidup (hayyan), Yang Maha Mengetahui (‘aliman), Yang Maha Berkehendak (muridan), Yang Mahakuasa (qadiran), Yang Maha Mendengar (sami’an), Yang Maha Melihat (bashiran), dan Yang Maha Berbicara (mutakalliman).

Ketika kita menjadikan Allah sebagai tumpuan hidup, maka akan tumbuh sikap-sikap uluhiyyah (meng-Esa-kan Allah) dan berarti kita mengikrarkan diri:

Bahwa Allah adalah sumber kebahagiaan kita
Bahwa Allah adalah sumber rezeki kita
Bahwa Allah adalah sumber ketenangan batin kita
Bahwa Allah adalah sumber Keharmonisan keluarga kita
Bahwa Allah adalah sumber kesehatan kita
Bahwa Allah adalah sumber Kekayaan kita
Bahwa Allah adalah sumber kekuatan kita
Bahwa Allah adalah sumber kemenangan kita
Dan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dalam hidup kita

Ikrar ini terlahir ketika terjadi akumulasi makna yang terkandung dalam syahadat (persaksian) kita sebagai orang beriman dengan mengucap La Ilaha Illallah. Syahadat yang mengubah wajah kehidupan kita, yang pesimis menjadi optimis, yang lemah menjadi kuat, yang miskin menjadi kaya, yang sedih menjadi bahagia, yang penakut menjadi pemberani, yang gelisah jadi terang, yang kalah menjadi menang, dan segala hidup negative berubah menjadi positif dalam arti yang sebenarnya.